Republika.co.id, Jakarta - Anggota Komisi XI DPR RI, Kemal Azis Stamboel, menilai bahwa Kementerian Keuangan (Kemenkeu) sebagai Bendahara Umum Negara (BUN) perlu terlibat aktif dalam proses renegosiasi kontrak sumber daya alam (SDA), terutama di bidang pertambangan.
"Menkeu sebagai Bendahara Umum Negara yang bertangung jawab atas manajemen neraca keuangan negara, tentunya perlu terlibat. Setiap eksploitasi atas sumber daya alam sebagai aset nasional harus dipastikan tidak menimbulkan kerugian dalam jangka panjang," ujarnya di Jakarta, Selasa (28/6).
Dalam pertambangan, menurut dia, ada aset yang diambil dan ada deplesi serta dampak lingkungan hidup yang ditinggalkan. "Apakah kemudian aset dari SDA yang diambil itu juga baik dan menguntungkan Negara, maka Menkeu sebagai Bendahara Negara, menurut saya harus ikut serta menimbangnya," ujarnya.
Sebagaimana diketahui, pemerintah telah merencanakan untuk melakukan renegosiasi atas isi 118 Kontrak Karya pertambangan nasional. Kontrak Karya itu terdiri atas 76 perjanjian karya pengusahaan penambangan batu bara (PKP2B) dan 42 kontrak karya industri mineral.
Selain itu terdapat sekitar 8.000 izin usaha pertambangan (IUP) atau kuasa pertambangan (KP) yang sebenarnya juga perlu dikaji ulang. Menurut Menkeu, selama ini Kementerian Keuangan tidak pernah dilibatkan dalam proses pemberian izin PKP2B maupun penandatanganan kontrak karya pertambangan lainnya.
"Saya kira Menkeu memang perlu terlibat dalam proses ini. Karena di dalam kontrak terdapat unsur penerimaan negara, seperti kewajiban pajak, bea masuk, dan royalti, yang perlu dipertimbangan. Kita telah sering mendengar bahwa sektor pertambangan masih under tax, sistem perhitungan dan pendataan produksi masih kurang bagus," ujarnya.
Dengan adanya keterlibatan Menkeu dalam renegosiasi itu, ia mengemukakan, negara dan rakyat Indonesia tidak dirugikan karena menguapnya potensi pendapatan negara dari sektor tersebut. "Semakin baik penerimaan atas hak negara dari sektor ini diharapkan kemudian dapat didistribusikan untuk kesejahteraan rakyat," paparnya.
Menurut Anggota DPR dari Fraksi PKS ini, pendapatan negara dari Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) sektor Pertambangan Umum masih sangat rendah, terutama jika dibanding dengan PNBP Migas.
"Tahun 2010 saja kita mencatat PNBP sektor pertambangan hanya Rp 9,7 triliun sedangkan PNBP sektor Migas Rp 151,7 triliun. Hal ini terjadi karena besaran royalti yang kita terima sangat rendah. Royalti untuk tambang emas, tembaga dan perak sangat kecil. Ada perusahaan besar hanya membayar royalti 0,28 persen dan 1 persen," ujarnya.
Fakta ini menunjukkan ada yang salah dengan sistem kontrak karya pertambangan di Indonesia
dan hal tersebut harus segera diperbaiki untuk ke depannya.
"Menkeu sebagai Bendahara Umum Negara yang bertangung jawab atas manajemen neraca keuangan negara, tentunya perlu terlibat. Setiap eksploitasi atas sumber daya alam sebagai aset nasional harus dipastikan tidak menimbulkan kerugian dalam jangka panjang," ujarnya di Jakarta, Selasa (28/6).
Dalam pertambangan, menurut dia, ada aset yang diambil dan ada deplesi serta dampak lingkungan hidup yang ditinggalkan. "Apakah kemudian aset dari SDA yang diambil itu juga baik dan menguntungkan Negara, maka Menkeu sebagai Bendahara Negara, menurut saya harus ikut serta menimbangnya," ujarnya.
Sebagaimana diketahui, pemerintah telah merencanakan untuk melakukan renegosiasi atas isi 118 Kontrak Karya pertambangan nasional. Kontrak Karya itu terdiri atas 76 perjanjian karya pengusahaan penambangan batu bara (PKP2B) dan 42 kontrak karya industri mineral.
Selain itu terdapat sekitar 8.000 izin usaha pertambangan (IUP) atau kuasa pertambangan (KP) yang sebenarnya juga perlu dikaji ulang. Menurut Menkeu, selama ini Kementerian Keuangan tidak pernah dilibatkan dalam proses pemberian izin PKP2B maupun penandatanganan kontrak karya pertambangan lainnya.
"Saya kira Menkeu memang perlu terlibat dalam proses ini. Karena di dalam kontrak terdapat unsur penerimaan negara, seperti kewajiban pajak, bea masuk, dan royalti, yang perlu dipertimbangan. Kita telah sering mendengar bahwa sektor pertambangan masih under tax, sistem perhitungan dan pendataan produksi masih kurang bagus," ujarnya.
Dengan adanya keterlibatan Menkeu dalam renegosiasi itu, ia mengemukakan, negara dan rakyat Indonesia tidak dirugikan karena menguapnya potensi pendapatan negara dari sektor tersebut. "Semakin baik penerimaan atas hak negara dari sektor ini diharapkan kemudian dapat didistribusikan untuk kesejahteraan rakyat," paparnya.
Menurut Anggota DPR dari Fraksi PKS ini, pendapatan negara dari Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) sektor Pertambangan Umum masih sangat rendah, terutama jika dibanding dengan PNBP Migas.
"Tahun 2010 saja kita mencatat PNBP sektor pertambangan hanya Rp 9,7 triliun sedangkan PNBP sektor Migas Rp 151,7 triliun. Hal ini terjadi karena besaran royalti yang kita terima sangat rendah. Royalti untuk tambang emas, tembaga dan perak sangat kecil. Ada perusahaan besar hanya membayar royalti 0,28 persen dan 1 persen," ujarnya.
Fakta ini menunjukkan ada yang salah dengan sistem kontrak karya pertambangan di Indonesia
dan hal tersebut harus segera diperbaiki untuk ke depannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Mohon daftarkan diri anda: