Sebelum melakukan ekspansi militernya ke negara-negara di kawasan Asia Pasifik, Kekaisaran Jepang telah mempropagandakan apa yang oleh kaum militeris Jepang dinyatakan sebagai Dai-tō-a Kyōeiken (Greater East Asia Co-Prosperity Sphere). Gagasan ’kemakmuran bersama’ ini dimaksudkan sebagai upaya meraih dukungan dari bangsa-bangsa Asia yang saat itu masih berada di bawah kekuasaan kolonialisme Barat. Melalui gagasan ini kaum militeris Jepang berharap bangkitnya negeri-negeri Asia untuk melawan tuan-tuan kulit putih mereka.
Bagi sebagian pemimpin nasionalis Asia gagasan semacam itu boleh jadi merupakan semacam inspirasi untuk membangkitkan sentimen nasionalisme anti-kolonial. Sampai batas tertentu, gagasan ’kemakmuran bersama’ ciptaan kaum militeris Jepang itu dapat digunakan oleh para pemimpin gerakan nasionalis di negeri-negeri Asia sebagai bagian dari upaya perjuangan melawan dominasi kolonialisme Barat.
Oleh sebab itu, tidaklah mengherankan apabila kedatangan balatentara Jepang ke negeri-negeri Asia pasca penyerangan pangkalan militer AS di Pearl Harbor, Hawaii, Desember 1941—yang menandai dimulainya Perang Dunia II di kawasan Asia Pasifik itu—telah disambut sebagai ’para pembebas’ tanah air mereka. Dominasi kolonialisme Barat yang telah berlangsung berabad-abad di negeri-negeri Asia Pasifik sedemikian rupa telah membuat psikologi-politik bangsa-bangsa Asia terdorong untuk menyambut ’saudara tua’ sesama orang Asia ke negeri mereka. Perlawanan sengit para kolonialis Barat untuk menghadang invasi militer Jepang umumnya tidak memperoleh dukungan dari bangsa-bangsa Asia. Rakyat Asia agaknya membiarkan para tuan kulit putihnya berperang melawan invasi militer Jepang. Ada semacam harapan yang tersembunyi di dada rakyat Asia agar Jepang mengalahkan kaum kolonialis Barat. Sampai pada tahap ini, sentimen semangat keasiaan memainkan peran penting bagi ’diterimanya’ kedatangangan ’saudara tua’ di negeri-negeri Asia.
Namun, gagasan ’kemakmuran bersama’ yang dibawa kaum militeris Jepang ke negeri-negeri Asia tidak berumur panjang. Fungsinya hanya terbatas pada keperluan untuk membangkitkan perlawanan rakyat Asia dalam rangka melawan dan membantu militer Jepang mengusir kolonialisme Barat. Segera setelah kaum kolonialis Barat hengkang dari negeri-negeri Asia, kaum militeris Jepang menggantikan kedudukan mereka sebagai kolonialis sejati. Dengan demikian, ’kemakmuran bersama’ adalah upaya untuk menggantikan kolonilisme Barat menjadi kolonialisme militeris Jepang atas negeri-negeri Asia. Hari-hari pertama kedatangan balatentara Jepang membuat mereka dielu-elukan sebagai pahlawan yang membebaskan rakyat Asia dari cengkeraman kolonialisme Barat. Pemangsa berkulit putih telah didepak ke luar dari bumi Asia. Namun, pada tahap selanjutnya balatentara Jepang dengan cepat berganti bulu menjadi pemangsa baru yang tidak kalah buas dengan pendahulunya. Sejarah akhirnya mencatat bahwa perbedaan warna kulit kaum kolonialis tidak mengubah watak dasar kolonialisme. Kolonialisme—apapun warna kulitnya—adalah penghisap dan sekaligus penindas.
Dibandingkan kolonialisme Barat, usia kolonialisme militeris Jepang di kawasan Asia relatif pendek. Kekalahan Jepang terhadap sekutu yang dipimpin AS dalam Perang Dunia II di kawasan Asia Pasifik terjadi pada bulan Agustus 1945. Namun demikian, meski usia kolonialisme militeris Jepang atas Asia relatif pendek, dampak yang ditinggalkannya begitu mendalam bagi bangsa-bangsa Asia hingga saat ini. Berakhirnya kolonialisme Jepang enam dasawarsa yang lalu agaknya tidak dapat menghilangkan dampak struktural dan kultural bagi sejumlah negeti-negeri Asia. Bagaimanapun, kebangkitan Jepang modern di awal abad 20 telah menginspirasi para pemimpin nasionalis di negeri-negeri Asia untuk bangkit melawan kolonialisme Barat. Namun, kebangkitan Jepang modern 20 itu pula yang justru menjadi palu godam bagi negeri-negeri Asia.
Lebih dari itu, soal-soal yang tersisa sebagai warisan kolonial Jepang di negeri-negeri Asia masih tetap terbawa hingga hari ini. Pampasan perang dan comfort women adalah sebagian dari sisa-sisa persoalan yang ditinggalkan Jepang di kawasan Asia Pasifik. Saat ini, persoalannya bukan lagi terletak pada kejelasan duduk perkara kasus-kasus yang menjadi warisan kolonialisme Jepang di masa lalu. Kasus-kasus itu sendiri secara terang benderang mengharuskan ditariknya sebuah kesimpulan bahwa pemerintah Jepang adalah satu-satunya pihak yang harus memikul bertanggung jawab. Yang menjadi pertanyaan dan perlu untuk ditelusuri adalah mengapa persoalan semacam itu berlarut-larut hingga saat ini?
Untuk sebagian, persoalan ini dilatarbelakangi oleh posisi dan postur AS di kawasan Asia Pasifik pasca PD II. Sebagaimana diketahui, sebagai pemenang perang di Asia Pasifik AS memegang peran kunci dalam perubahan geo politik di kawasan ini. Dihantui oleh kebangkitan kembali militerisme Jepang di Asia Pasifik, tentara pendudukan AS di Jepang memainkan peran penting dalam mendesain wajah Jepang pasca PD II. Di di samping memperkenalkan sistem demokrasi, tentara pendudukan AS—di bawah Jendral Douglas McArthur—juga menyusun konstitusi Jepang yang mengatur agar budget untuk sektor pertahanan tidak membuat negara ini memiliki potensi untuk melakukan ekspansi militer.
Lebih dari itu, era pasca PD II juga telah membuat AS mengubah secara drastis desain politik globalnya. Jika di era PD II AS bersekutu dengan negeri-negeri Barat dan bekas Uni Soviet untuk melawan kekuatan Axis yang terdiri atas Jerman, Italia dan Jepang, namun pada masa pasca PD II AS bersekutu dengan eks negara-negara Axis vis-a-vis Uni Soviet. Lawan politik global AS di era pasca PD II bukan lagi kaum ultra-nasionalis Jerman, Fasis Italia dan militeris Jepang, melainkan kaum komunis.
Sekutu di bawah kepemimpinan AS memang telah menggelar pengadilan internasional bagi para penjahat perang di Tokyo menyusul kapitulasi Jepang. Namun, upaya tersebut dinilai belum cukup memadai dan masih menyisakan persoalan besar. Sejumlah eks penjahat perang dari kalangan militeris Jepang—bahkan terdapat beberapa di antaranya yang tergolong ’Kelas A’—yang lolos dari tiang gantungan diberi keringanan hukuman dan menghirup udara bebas di era 1950-an.
Dihadapkan pada desain politik Jepang yang baru di mana prosedur demokrasi menjadi arena berlaga yang sah, mereka ’melihat’ Partai Demokrat Liberal (LDP) sebagai sarana yang dapat menampung kepentingan dan cita-cita dasar mereka. Ada anggapan bahwa LDP sesungguhnya masih merepresentasikan gagasan lama yang bernama Greater East Asia Co-Prosperity Sphere yang kini ’didandani’ dengan wajah baru. Sebagaimana diketahui partai ini mendominasi perpolitikan nasional Jepang selama beberapa dekade pasca PD II.
Dalam kerangka ini, AS agaknya ingin menempatkan Jepang sebagai sekutu untuk membendung ancaman meluasnya pengaruh komunisme di kawasan Asia Pasifik. Bertolak dari desain semacam ini AS sama sekali tidak menghendaki Jepang direpotkan untuk urusan-urusan yang menjadi warisan pendudukan Jepang di negeri-negeri Asia. Upaya keras AS untuk memakmurkan Jepang sebagai bagian dari strategi globalnya untuk menghadang ancaman komunisme di Asia Pasifik sedemikian rupa telah membuat AS tidak dapat membiarkan Jepang dibelit oleh tanggungjawab masa lalunya.
Kaum militeris Jepang yang dikenal sangat anti-komunis itu—yang sebelumnya merupakan musuh bebuyutan AS semasa PD II—menjadi sekutu strategis bagi AS dalam desain politik globalnya di kawasan Asia Pasifik pada pasca PD II. Desain politik global AS yang menempatkan komunisme sebagai musuh yang tak termaafkan itu telah mendorong Washington merapatkan barisan dengan Jepang di masa pasca PD II. Dalam kerangka inilah persoalan warisan kolonialisme Jepang di Asia Pasifik diletakkan.
Dengan demikian, perjuangan bangsa-bangsa Asia Pasifik untuk menagih tanggungjawab Jepang atas peran masa lalunya di era PD II masih terus berlangsung hingga hari. Meskipun persoalan warisan kolonialisme Jepang menjurus ke arah pelanggaran HAM, posisi AS tetap tak bergeming. Pelanggaran HAM yang ditinggalkan kolonialisme Jepang di Asia Pasifik sama sekali berada di luar skenario politik global AS. Sebagai pemenang PD II di kawasa Asia Pasifik AS sesungguhnya memiliki daya dan legitimasi untuk membuat Jepang melaksanakan kewajiban internasionalnya terkait dengan peran masa lalunya. Bukankan wajah Jepang hari ini merupakan produk dari desain yang dibuat oleh tentara pendudukan AS di negeri itu pada PD II?
Dewasa ini beberapa elemen progresif yang dipelopori generasi muda Jepang memang mulai mempersoalkan peran masa lalu negerinya. Gejala ini memperlihatkan bahwa di Jepang sendiri mulai muncul kegelisahan terkait dengan peran masa lalunya. Namun, sebagaimana diketahui, gerakan ini belum cukup efektif untuk dapat mempengaruhi para pengambil keputusan di Jepang untuk menjalankan tanggung jawab atas peran masa lalunya.
Terlepas dari konstelasi politik di kawasan Asia Pasifik dan di dalam negeri Jrpang sendiri, berbagai persoalan yang terkait dengan warisan masa lalu Jepang tampaknya akan terus mengemuka. Para korban kekejaman tentara pendudukan Jepang di sejumlah negeri Asia Pasifik akan tetap tetap memandang bahwa Jepang masih belum menyelesaikan tanggung jawab internasionalnya. Bekas-bekas kolonialisme Jepang di masa lalu tampak begitu mendalam dan hampir sulit dihapuskan dari memori kolektif bangsa-bangsa Asia Pasifik hingga hari ini. Mendiamkan persoalan ini sama artinya dengan menunda munculnya kepelikan yang sulit diprediksi di masa depan menyangkut hubungan Jepang dengan negeri-negeri Asia Pasifik. Peran-peran konstruktif Jepang dalam percaturan politik global pada umumnya, dan Asia Pasifik khususnya, akan sulit diwujudkan sepanjang persoalan tanggung jawab Jepang terhadap masa lalunya tidak pernah diselesaikan.
Ironisnya, persoalan tanggung jawab Jepang atas peran masa lalunya terhadap negeri-negeri Asia Pasifik justru terjadi di tengah-tengah kemakmuran yang dinikmati Jepang berkat hubungan-hubungan ekonomi yang dilakukan negara itu dengan negeri-negeri tersebut di era pasca PD II. Pertanyaannya adalah, dapatkah akal sehat manusia menerima kenyataan semacam itu? Dengan latar semacam ini, maka tuntutan bangsa-bangsa Asia Pasifik agar Jepang menunaikan kewajiban internasionalnya terkait dengan peran masa lalu negeri itu tidak saja sah dilihat dari sudut norma HAM secara universal, tetapi juga mengandung nilai etis dan keadilan.
Sumber: Global Future Institute
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Mohon daftarkan diri anda: