"Roof Garden" Menyongsong Indonesia Hijau
JUMLAH penduduk Indonesia menduduki peringkat empat se dunia. Jumlah ini mencapai 218.868.791 jiwa per 2005. Jumlah ini tentu tidak statis bahkan akan selalu bertambah meski juga ada pengurangan. Semakin padatnya penduduk Indonesia menjadikan kebutuhan akan ruang tinggal juga meningkat tajam. Kebutuhan ruang untuk menampung aktifitas penduduk perkotaan termasuk juga fasilitas pemukimannya terasa semakin mendesak. Hal ini menjadi semakin serius sehubungan dengan keterbatasan lahan yang ada. Tidak bisa dipungkiri bahwa adanya kota
karena menggusur lahan hijau yang dulu ada. Keberadaan kota tak lepas dari menyempitnya lahan hijau desa. Menggusur atau mengkonversi lahan menjadi bangunan semakin sering terjadi mengingat semakin banyak dan beragamnya kepentingan untuk kehidupan manusia.
JUMLAH penduduk Indonesia menduduki peringkat empat se dunia. Jumlah ini mencapai 218.868.791 jiwa per 2005. Jumlah ini tentu tidak statis bahkan akan selalu bertambah meski juga ada pengurangan. Semakin padatnya penduduk Indonesia menjadikan kebutuhan akan ruang tinggal juga meningkat tajam. Kebutuhan ruang untuk menampung aktifitas penduduk perkotaan termasuk juga fasilitas pemukimannya terasa semakin mendesak. Hal ini menjadi semakin serius sehubungan dengan keterbatasan lahan yang ada. Tidak bisa dipungkiri bahwa adanya kota
karena menggusur lahan hijau yang dulu ada. Keberadaan kota tak lepas dari menyempitnya lahan hijau desa. Menggusur atau mengkonversi lahan menjadi bangunan semakin sering terjadi mengingat semakin banyak dan beragamnya kepentingan untuk kehidupan manusia.
Ruang yang meliputi ruang daratan, ruang lautan, dan ruang udara
akan terus direncanakan penggunaannya selama manusia ada. Proses
perencanaan tata ruang, khususnya daratan, pemanfaatan ruang, dan
pengendalian ruang akan terus dijalankan dan terorientasi pada kebutuhan
manusia. Namun permasalahan yang muncul semakin kompleks ketika
perencanaan tersebut tidak mengindahkan faktor ekologi. Kebutuhan tempat
tinggal, ruang aktifitas, industri seketika akan menyulap ruang terbuka
hijau menjadi bangunan gedung. Untuk itu perlu langkah jitu, strategis,
dan komprehensif, juga keberpihakan dan kebijakan pihak berwenang di
dalam mengatur pembangunan dan pemanfaatan gedung agar dapat berfungsi
sesuai kebutuhan hidup masyarakat secara utuh. Kebutuhan akan tempat
tinggal memang suatu kebutuhan primer, demikian juga perhatian akan
kondisi ekologi menjadi penting untuk kehidupan berkelanjutan. Tidak
elok jika bangunan yang ada sekarang dibongkar dan diratakan kembali
guna mengembalikan ruang terbuka hijau, yang kemudian terjadi bukanlah
kesejahteraan dan kedamaian tapi timbulnya masalah baru, sengketa dan
tawuran warga dengan aparat penertiban. Tentunya bukan ini yang
diharapkan.
Pembangunan gedung serbaguna dengan paradigma baru untuk pembangunan kota, kawasan publik, dan pemukiman penduduk yang ramah lingkungan, melalui rekayasa bangunan gedung ramah lingkungan itulah yang menjadi impian. Roof garden merupakan suatu terobosan baru, suatu teknologi alternatif guna manjawab permasalahan semakin minimnya lahan di perkotaan, teknologi pembangunan gedung dengan atap yang multifungsi untuk penghijauan dan daerah resapan air.
Roof garden dapat diartikan sebagai taman yang berada di atas atap suatu bangunan atau gedung. Roof garden bukanlah teknologi baru, ide ini berkembang di Amerika sejak tahun 1950-an. Sedangkan di Hongkong dan Jepang, sejak tahun 2000 pemerintah mewajibkan pengelola gedung menghijaukan atap minimal 20% dari total luas atap bangunan atau berkisar antara 250-1000 m2.
Pembangunan gedung serbaguna dengan paradigma baru untuk pembangunan kota, kawasan publik, dan pemukiman penduduk yang ramah lingkungan, melalui rekayasa bangunan gedung ramah lingkungan itulah yang menjadi impian. Roof garden merupakan suatu terobosan baru, suatu teknologi alternatif guna manjawab permasalahan semakin minimnya lahan di perkotaan, teknologi pembangunan gedung dengan atap yang multifungsi untuk penghijauan dan daerah resapan air.
Roof garden dapat diartikan sebagai taman yang berada di atas atap suatu bangunan atau gedung. Roof garden bukanlah teknologi baru, ide ini berkembang di Amerika sejak tahun 1950-an. Sedangkan di Hongkong dan Jepang, sejak tahun 2000 pemerintah mewajibkan pengelola gedung menghijaukan atap minimal 20% dari total luas atap bangunan atau berkisar antara 250-1000 m2.
Di Indonesia, istilah ini juga sebenarnya bukan hal baru. Hanya saja
perlu kesadaran penuh akan pentingnya menjaga lingkungan untuk
menjalankannya. Potensi aplikasi teknologi ini di Indonesia sangat besar
mengingat banyaknya bangunan gedung dan semakin sempitnya ruang terbuka
hijau (RTH). Roof garden dapat
dibuat oleh seluruh lapisan masyarakat baik perorangan dalam skala
rumah maupun developer dalam skala yang lebih luas dan juga oleh
pemerintah kota.
Kota tumbuh bersama dengan padatnya penduduk dan segala aktifitasnya. Kondisi ini mengidentikkan kota sebagai hunian padat, sumber polusi, bising, dan rendahnya daerah resapan air. Berbagai permasalahan ekologi muncul dan begitu komplek saat disejajarkan dengan kebutuhan akan ruang tinggal. Seakan mimpi untuk dapat menyeimbangkan ekologis dengan kebutuhan social dan ekonomi. Roof garden hadir memberi solusi nyata. Kehadiran berbagai tumbuhan hijau di atap bangunan mampu mengurangi polusi udara sekitar. Banyaknya gas nitrogen, karbon monoksida, karbon dioksida di udara bebas dapat diikat oleh tumbuhan sehingga meningkatkan kualitas udara. 1 m2 roof garden dapat menyaring 0.2 Kg debu aerosol dan partikel asap setiap tahunnya. Sebagai tambahan nitrat dan bahan berbahaya lainnya di udara dan dari air hujan dapat diendapkan pada media tanam dari roof garden. Atap dengan berbagai jenis tanaman juga mampu mengurangi pantulan suara sampai dengan 3 db dan meredam suara sampai dengan 8 desibel (db), karena lapisan vegetasi dapat secara efektif meredam gelombang elektromagnetik yang dipancarkan oleh transmisi.
Komposisi lahan atap dengan berbagai jenis tanaman mampu menciptakan iklim mikro yang dapat menurunkan suhu dan memberikan hawa sejuk pada ruang-ruang di dalam gedung. Roof garden mampu mendinginkan permukaan bangunan (dari 58 derajad celicius menjadi 31 derajad celcius), dan menurunkan suhu dalam bangunan 3-4 derajad celcius lebih rendah dari suhu di luar bangunan sehingga menghemat pemakaian AC (hemat listrik 50-70%) atau total 15% per tahun .
Sebagai penyeimbang lingkungan, roof garden juga dapat dijadikan sebagai area resapan air (Rainfall harvesting). Sebagian besar air hujan akan mengalami siklus air melalui proses transpirasi dan evaporasi oleh tumbuhan. Dengan roof garden air hujan diubah menjadi uap air ke udara melalui proses transpirasi dan evaporasi dan kelebihannya tetap akan di simpan oleh media tanam untuk sementara waktu. Hal tersebut dapat mengurangi tekanan dari sistem pembuangan air melalui pipa pembuangan dalam tanah. Jika terdapat 100.000 rumah membangun atap taman masing-masing seluas 100 m2, maka kota akan mendapat tambahan RTH secara signifikan seluas 1000 hektar. Dan ini akan merakibat positif dengan bertambah pula produsen oksigen kota. Telah diketahui tumbuhan hijau merupakan penghasil oksigen terbesar di bumi. Sebagai paru-paru kota, roof garden seluas 155 m2 mampu menghasilkan oksigen yang cukup untuk satu orang per hari (24 jam).
Roof garden juga dapat berfungsi sebagai habitat sekaligus penghubung bagi pergerakan organisme (wildlife) di perkotaan. Adanya vegetasi yang beranekaragam menciptakan ekosistem mikro di atap bangunan. Beberapa hewan kecil akan ikut meramaikan dan secara nyata dapat melestarikan jenisnya, serta sebagai bentuk konservasi. Misalnya lebah, kumbang, kupu-kupu. Selain menemukan kembali habitatnya, mereka juga membantu penyerbukan tanaman. Sehingga tanpa disadari hal ini bermanfaat untuk keseimbangan ekosistem dan pelestarian keanekaragaman hayati.
Sehingga bukan mimpi lagi untuk dapat menikmati hunian yang nyaman dan ramah lingkungan. Gerakan roof garden sangat cocok diaplikasikan di kota-kota besar di Indonesia, seperti Jakarta, Semarang, Surabaya, Yogyakarta, dan diikuti dengan kota-kota berkembang lainnya. Kondisi alam Indonesia yang stabil dengan hanya mengalami 2 musim sangat mendukung dilakukannya sistem bangunan roof garden.Tanaman di atap tidak akan khawatir kekurangan air atau kelebihan intensitas cahaya. Melalui teknik penanaman dengan memperhatikan kebutuhan energi dan media tanam yang baik semua dapat diatasi. Indonesia tidak memiliki musim salju yang dapat menutupi seluruh tanaman di atap hingga mati. Jadi, tunggu apa lagi untuk melakukannya? Hubungan kota dan desa yang horizontal akan berubah menjadi vertikal. Kehidupan kota yang berkelanjutan dengan paradigma kota kompak (compact city), kota sehat (healthy city), dan kota ekologis (green city) akan tercipta. Katakan mampu, dan lakukan!
Kota tumbuh bersama dengan padatnya penduduk dan segala aktifitasnya. Kondisi ini mengidentikkan kota sebagai hunian padat, sumber polusi, bising, dan rendahnya daerah resapan air. Berbagai permasalahan ekologi muncul dan begitu komplek saat disejajarkan dengan kebutuhan akan ruang tinggal. Seakan mimpi untuk dapat menyeimbangkan ekologis dengan kebutuhan social dan ekonomi. Roof garden hadir memberi solusi nyata. Kehadiran berbagai tumbuhan hijau di atap bangunan mampu mengurangi polusi udara sekitar. Banyaknya gas nitrogen, karbon monoksida, karbon dioksida di udara bebas dapat diikat oleh tumbuhan sehingga meningkatkan kualitas udara. 1 m2 roof garden dapat menyaring 0.2 Kg debu aerosol dan partikel asap setiap tahunnya. Sebagai tambahan nitrat dan bahan berbahaya lainnya di udara dan dari air hujan dapat diendapkan pada media tanam dari roof garden. Atap dengan berbagai jenis tanaman juga mampu mengurangi pantulan suara sampai dengan 3 db dan meredam suara sampai dengan 8 desibel (db), karena lapisan vegetasi dapat secara efektif meredam gelombang elektromagnetik yang dipancarkan oleh transmisi.
Komposisi lahan atap dengan berbagai jenis tanaman mampu menciptakan iklim mikro yang dapat menurunkan suhu dan memberikan hawa sejuk pada ruang-ruang di dalam gedung. Roof garden mampu mendinginkan permukaan bangunan (dari 58 derajad celicius menjadi 31 derajad celcius), dan menurunkan suhu dalam bangunan 3-4 derajad celcius lebih rendah dari suhu di luar bangunan sehingga menghemat pemakaian AC (hemat listrik 50-70%) atau total 15% per tahun .
Sebagai penyeimbang lingkungan, roof garden juga dapat dijadikan sebagai area resapan air (Rainfall harvesting). Sebagian besar air hujan akan mengalami siklus air melalui proses transpirasi dan evaporasi oleh tumbuhan. Dengan roof garden air hujan diubah menjadi uap air ke udara melalui proses transpirasi dan evaporasi dan kelebihannya tetap akan di simpan oleh media tanam untuk sementara waktu. Hal tersebut dapat mengurangi tekanan dari sistem pembuangan air melalui pipa pembuangan dalam tanah. Jika terdapat 100.000 rumah membangun atap taman masing-masing seluas 100 m2, maka kota akan mendapat tambahan RTH secara signifikan seluas 1000 hektar. Dan ini akan merakibat positif dengan bertambah pula produsen oksigen kota. Telah diketahui tumbuhan hijau merupakan penghasil oksigen terbesar di bumi. Sebagai paru-paru kota, roof garden seluas 155 m2 mampu menghasilkan oksigen yang cukup untuk satu orang per hari (24 jam).
Roof garden juga dapat berfungsi sebagai habitat sekaligus penghubung bagi pergerakan organisme (wildlife) di perkotaan. Adanya vegetasi yang beranekaragam menciptakan ekosistem mikro di atap bangunan. Beberapa hewan kecil akan ikut meramaikan dan secara nyata dapat melestarikan jenisnya, serta sebagai bentuk konservasi. Misalnya lebah, kumbang, kupu-kupu. Selain menemukan kembali habitatnya, mereka juga membantu penyerbukan tanaman. Sehingga tanpa disadari hal ini bermanfaat untuk keseimbangan ekosistem dan pelestarian keanekaragaman hayati.
Sehingga bukan mimpi lagi untuk dapat menikmati hunian yang nyaman dan ramah lingkungan. Gerakan roof garden sangat cocok diaplikasikan di kota-kota besar di Indonesia, seperti Jakarta, Semarang, Surabaya, Yogyakarta, dan diikuti dengan kota-kota berkembang lainnya. Kondisi alam Indonesia yang stabil dengan hanya mengalami 2 musim sangat mendukung dilakukannya sistem bangunan roof garden.Tanaman di atap tidak akan khawatir kekurangan air atau kelebihan intensitas cahaya. Melalui teknik penanaman dengan memperhatikan kebutuhan energi dan media tanam yang baik semua dapat diatasi. Indonesia tidak memiliki musim salju yang dapat menutupi seluruh tanaman di atap hingga mati. Jadi, tunggu apa lagi untuk melakukannya? Hubungan kota dan desa yang horizontal akan berubah menjadi vertikal. Kehidupan kota yang berkelanjutan dengan paradigma kota kompak (compact city), kota sehat (healthy city), dan kota ekologis (green city) akan tercipta. Katakan mampu, dan lakukan!
Sumber : Development for life
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Mohon daftarkan diri anda: